Berkabung



Berita duka ini tersampaikan melalui media jejaring sosial. Tujuh jam yang lalu sebelum saya login kembali di dunia maya. Pesan dari paman itu terlampir foto terakhir beliau bersamanya. Saya biasa memanggilnya Mak haji tentu bukan nama aslinya. Mak haji telah kembali ke khadirat-Nya, meninggalkan segalanya dan kerabat. Putuslah koneksinya dengan dunia, yang tertinggal hanyalah jasad. Beliau melanjutkan perjalanan kondrat menuju akhirat.

Jujur, saya sosok yang kurang dekat dengan beliau. Intensitas pertemuannya, mungkin hanya dua kali dalam satu tahun. Itu pun di acara silaturahmi keluarga besar di saat liburan Idul Fitri dan lebaran kurban. Menurut saya beliau adalah tokoh keluarga yang murah senyum. Bahkan dalam keadaan terbaring sakit di kasurnya, lemah tak berdaya akan penyakit menua yang betah bersarang di raganya. Beliau senantiasa memberikan senyuman tulus. Seperti biasanya, kening ini menempelkan diri di punggung tangan kanannya yang hangat dan letih. Ternyata saat itu menjadi salam terakhirnya saat saya sekeluarga menyempatkan berkunjung waktu cuti akhir tahun kemarin.

Mohon maaf sebelumnya, yang ini hanya 'sekedar curhat'...
Berita itu memanggil dan mengundang memori duka tujuh tahun yang lalu. ketika saya masih memakai seragam bercelana biru tua. Tidak sempat saya memperlihatkan ijazah biru tanda kelulusan itu dan membicarakan harapan untuk masuk SMA negeri kelak. Beliau sudah dipanggil oleh-Nya. Seorang nenek yang bagi mereka mempunyai kesan biasa itu. Berbanding terbalik bagi saya. Bagi saya beliau adalah ibu kedua saya, yang mengantarkan cucu pertamanya ini tumbuh dari masih bayi merah hingga menjelang remaja. Lima belas tahun lamanya. Sadar, sesadar-sadarnya bahwa penyesalan, merasa kehilangan datang tiba-tiba ketika orang yang kita sangat sayangi telah tiada.

Dampak rasa kehilangan yang mendalam, memunculkan dua opsi. Terus berkeluh kesah dengan kesedihan  atau mengikhlaskannya lalu melanjutkan kehidupan. Oleh karenanya saya mulai belajar untuk menerima kenyataan. Mulai mengenal apa itu kematian.

 Kata kematian, semua yang hidup pasti binasa. Kata kematian, bersiaplah dimana ada saatnya semua di rundung rasa duka. Kata kematian, di saat itulah semua wajah sanak saudara sendu dan beruraikan air mata.
Semuanya terpana pada jasad yang sudah tak bernyawa.

Perlunya kesiapan untuk menerima kenyataan dan mengendalikan keadaan. Lantaran datangnya terkadang mendadak, tidak diketahui kapan. Semisal, orang tua harus siap menerima keadaan rumah yang sepi karena tidak lagi ada keceriaan si buah hati yang sudah tiada. Ataupun, seorang anak sulung yang harus siap menerima tongkat estafet tanggung jawab keluarga, menjadi pemimpin keluarga, mengayomi adik-adiknya yang masih sekolah, membiayai adik-adiknya, menjadi tulang punggung keluarga karena hal yang sangat tidak diinginkan terjadi. Kita hanyalah manusia tak berdaya di hadapan-Nya. Kodratnya hanya bisa menerima. Apapun kehendak-Nya.

 Saya sekarang hanya bisa menghayati. Sangat menghayati kumpulan oksigen yang terhirup kedalam rongga paru-paru. Begitu lancar dan mudahnya, kemudian disusul dengan hembusan udara hangat karbon dioksida keluar lepas dari rongga mulut. Nikmat kehidupan. Anugerah kesehatan yang Allah berikan.
Waktu dimana kenyamanan bernafas itu akan tersekat, entah kapan tapi saya sadar itu mutlak. Mutlak akan terjadi. Pasti.

Kapankah wahai sang Izroil menjemput hembusan nafas terakhir nanti ?
Wallahi, hanya Dia yang tahu. Dialah yang Maha Tahu.

Terima kasih kematian. Dengan mengenal kematian yang menghentikan setiap perjalanan kehidupan.
Terima kasih kehidupan. Telah memperlihatkan anugerah-Nya dari setiap sudut pengalaman.
Dengan jasad yang masih terisi ruh berikut jatah waktu yang diberikan. Izinkanlah. Izinkanlah saya berupaya untuk menjadi sebaik-baiknya makhluk.
Kematian telah menjadi guru terbaik bagi saya untuk selalu berintropeksi diri. Menjadi alasan konkrit untuk lebih mengenal Ilahi.

Jadikan gerbang awal sekaligus akhir itu menjadi pintu khusnul khatimah bagi beliau dan bagi kami Ya Rabb...

Seperti siklus kehidupan, tabung semangat yang tadinya rapuh mulai terisi penuh.
Alhamdullilah, saya tidak akan menyia-nyiakannya lagi.
Ingatkan saya wahai kematian, ketika saya mulai lupa. akan sifat absolut bin mutlak yang engkau punya.


Abdullah Ibn Umar ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Sesungguhnya hati manusia dapat berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air". Seseorang bertanya "Bagaimana caranya agar hati ini bersinar kembali ?" Rasulullah SAW. menjawab "Selalu mengingat mati dan membaca Al-Quran".
(HR Al-Baihaqi)

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang  yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?"
(QS. Al-An'am : 32)

Pada intinya dunia tempat kaki kita berpijak sekarang ini bukanlah kehidupan yang sebenarnya, segala harta yang dikumpulkan, rumah yang dibangun, kedudukan yang diraih dengan simbah peluh berkuah keringat, memiliki akhir. Kesenangan dan kesedihan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kelapangan dan kemiskinan, kesuksesan dan kegagalan, kesusahan dan kemudahan dipergilirkan bagi setiap manusia sebagaimana Allah mempegilirkan malam dan siang. Tiada keabadian di dalamnya. Jangan takut untuk mengingat bahwa saya, kamu, kalian semuanya akan menjadi penghuni liang lahat kelak. Maka dari itu kita senantiasa memperbaiki diri dan meminta ampunan kepada-Nya... #mumpung masih ada kesempatan







  1. terima kasih lur, telah menulis tentang kematian. dan saya turut berduka cita ya lur? tapi ente pilih opsi untuk move on kan? :)

  1. . Says:

    suatu kewajiban untuk saling mengingatkan lur, Insya Allah opsi yang kedua lur :)

Leave a Reply

"Man Jadda Wa Jadda"
-Arabian Quotes



"Knowledge Is Power"

-Francis Bacon


"Korupsi dipicu gaya hidup hedonis dan boros"


(Benar kan?).
-Eko Laksono

Arsip Blog