05 Nov 2008 -
Dagangan bapak penjual amplop, ditinggal dulu karena pemiliknya shalat Jumat |
Sekedar ingin sharing tentang kisah nyata inspiratif agar dapat di ambil hikmahnya untuk kita semua. Kisah
Kakek Penjual Amplop di ITB. Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen
ITB bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar
berjuang untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop
di Masjid Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat
dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang
dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah Kakek Penjual Amplop di ITB.
Kakek Penjual Amplop di ITB
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB
untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang Kakek tua yang duduk
terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah
dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh”
di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan
Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan
makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan
barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri
menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang
serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara
konvensional sudah berlalu, namun Kakek itu tetap menjual amplop.
Mungkin Kakek itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi
perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga
dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran Kakek tua dengan dagangannya
yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau
membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid
tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid
Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran Kakek tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di
Salman saya melihat Kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah
berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya
saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin
membantu Kakek itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan
hendak kembali ke kantor, saya menghampiri Kakek tadi. Saya tanya berapa
harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu. “Seribu”, jawabnya
dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya
sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup
untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya.
Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi
Kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air
mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak,
sepuluh bungkus”, kata saya.
Kakek itu terlihat gembira karena saya
membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus
amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak
amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop
ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia
menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung
tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin
hanya dapat lima buah amplop. Kakek itu menunjukkan kepada saya lembar
kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota
pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil
sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk
satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu
mendengar jawaban jujur si Kakek tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga
dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, Kakek
tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual
sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli
nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop
banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh
bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli
nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000
untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa
saya selipkan sedikit uang lebih buat Kakek tua itu untuk membeli makan
siang. Si Kakek tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil
mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera
bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk
meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman
di fesbuk yang bunyinya begini: “Kakek-Kakek tua menjajakan barang
dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan
warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli
barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini.
Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan
lengkap….”.
Pak Darta sedang memasukan 10 bungkus amplop yang saya beli
Si Kakek tua penjual amplop adalah
salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya
tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka
adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau
pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka
sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan
membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena
secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup
mereka.
Dalam pandangan saya Kakek tua itu
lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman,
meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan
anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua
tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya
tidak seberapa itu. Sering kali kita bergumam saat melihat seorang
peminta - minta "Harusnya Ia mencari sebuah pekerjaan karena Ia masih
mampu untuk bekerja". Namun, dimana hati kita saat kita melihat seorang
yang sudah berusaha keras berjualan yang kita tahu bahwa barang
dagangannya kurang diminati dan sepi pembeli? Tak terpintaskah bahwa
kita pernah menyuruh sang pengemis mencari kerja (walau dalam hati)
sedangkan saat melihat orang yang kesusahan sedang bekerja kita
memalingkan muka? Pernahkah kita rasakan perasaan penjual yang bilamana
jika dulu Ia seorang pengemis yang tidak disukai & dihargai dan
sekarang mau berubah menjadi seseorang yang mempunya pekerjaan, menjadi
penjual yang tetap tidak pernah kita pandang? Padahal seharusnya kita
menghargai kemauannya karena dapat berubah menjadi seseorang yang lebih
berharga.
Di kantor saya amati lagi bungkusan
amplop yang saya beli dari si Kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak
terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu
yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si Kakek tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus
amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan
memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan
melihat si Kakek tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan
dagangannya yang tak laku-laku.
(Update, 20 Januari)
Saya yakin Pak Darta adalah tipikal muslim yang taat. Beberapa kali saya
pernah melihat dia — tapi bukan pada hari Jumat — mengemasi
dagangannya ketika adzan Dhuhur berkumandang dari Masjid Salman. Pak
Darta menitipkan tas yang berisi dagangan amplopnya kepada pedagang
martabak mini di sekitar situ, lalu dia berjalan dengan pelan menuju
masjid untuk mengambil wudlu dan shalat di dalam. Barakollah pak,
meskipun miskin dan sudah renta tetapi tidak lalai dengan kewajiban
agama.
Pak Darta bercerita ada empat kali dia kedatangan orang-orang ke
rumahnya di Bale Endah, Kabupaten Bandung. Alhamdulillah, ada saja
orang-orang baik hati yang datang membantunya. Pak Darta berkata dengan
nada lirih bahwa dia memerlukan uang untuk memperbaiki rumahnya yang
sudah butut. Saya belum pernah ke rumahnya, belum punya kesempatan ke
sana. Tapi, kalau anda ingin datang melihat rumahnya, ini saya kasih
alamatnya setelah saya minta: Pak Darta, RT 06 RW 01 Desa Cipicung, Manggahang, Bale Endah, Kabupaten Bandung. Bale Endah itu kecamatan yang letaknya di selatan kota Bandung. Mudah-mudahan Pak Darta tetap sehat dan istiqmah sebagai seorang muslim yang taat. Amiin.
(Sumber : http://rinaldimunir.wordpress.com)
"Sesungguhnya Allah menolong ummat ini
dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan
doa, shalat, dan keikhlasan mereka" (An-Nasâ`i)
Saya yakin Pak Darta adalah tipikal muslim yang taat. Beberapa kali saya pernah melihat dia — tapi bukan pada hari Jumat — mengemasi dagangannya ketika adzan Dhuhur berkumandang dari Masjid Salman. Pak Darta menitipkan tas yang berisi dagangan amplopnya kepada pedagang martabak mini di sekitar situ, lalu dia berjalan dengan pelan menuju masjid untuk mengambil wudlu dan shalat di dalam. Barakollah pak, meskipun miskin dan sudah renta tetapi tidak lalai dengan kewajiban agama.
(Sumber : http://rinaldimunir.wordpress.com)
kalo kata Yamaha mah "touching your heart" pisan lah!! hehe