Teis dan Ateis



Apabila kita sudah berbicara, berdiskusi dan berdebat di ranah keyakinan, tanpa kita sadari sesuatu yang berada di alam bawah sadar menyalakan lampu rambu kuning, dalam artian kita menjadi lebih berhati - hati melindungi sekat - sekat keyakinan dimana bisa di bilang menempel permanen dalam nurani kita. Sepertinya, ada tombol otomatis untuk mempertahankan segala pemahaman agama yang kita tau, padahal belum tentu kita mengetahuinya secara utuh.

Topik ngrumpi dengan isi materi berat ini dimulai dari aktivitas santai di antara dua cangkir kopi dan dua teman seperjuangan. Pemuda cepak yang duduk santai itu memakai jersey MU (detail banget ya hehe) dan sarung hitamnya dan giliran di sebrangnya, di antara meja teras duduk pemuda cepak lain dengan kalung salib yang setia terlingkar di lehernya. Awalnya sih, hanya celotehan candaan tapi entah kenapa bisa ngelantur ke diskusi paling sensitif diantara saya dan dia. "Agama"

Saya katakan diskusi dengan materi yang berat karena saya masih belum memahami secara menyeluruh selain hal yang bersifat fundamental atau mendasar, jadi saya berusaha open minded aja, biar pembicaraan ini bisa dijadikan proses pendewasaan atas pengetahuan agama, penyegaran pikiran agar terjauh dari dogma konservatif sempit. Sungguh diskusi yang sensitif, lebih sensitif daripada perempuan yang lagi dapet.

Serupa ikut ngantri pengambilan sembako gratis, sulitnya hidup damai dengan hanya mengerti diri sendiri. Kisah masa lalu ketika mudahnya menyebut orang berbeda dengan sebutah 'musuh' hingga timbul episode perang salib sama juga keadaannya sekarang, Indonesia bangga dengan Pancasila nya, tetapi di bagian dunia lain ada tetangga bangga dengan menyebut diri mereka ateis. Kristen dan Buddha. Teis dan Ateis. Percaya dan tidak percaya. Njlimet juga ya tapi itulah perbedaan. 

Sebenarnya, kita sadar bahwa perbedaannya jangan dijadikan masalah berkepanjangan hanya karena intonasi suara terkadang agak tinggi, cukup perdebatan coffee morning saja, mungkin saya lebih banyak mendengar, tidak terlalu menggebu - gebu. Pada kondisi seperti ini, saya mengkoreksi diri sendiri, pengetahuan agama jangan dianggap seperti kereta lewat saja, wajib menjadi pembelajaran secara terus - menerus dan berkesinambungan. Hal mendasar seperti "Kenapa harus shalat ?", "Kenapa gerakan shalat seperti itu ?", "Kenapa shalat harus 5 waktu?", harus dipahami secara utuh bukan hanya setengah - setengah dengan alasan karena orang tua saya muslim maka saya muslim, karena saya muslim maka saya shalat. Terus timbul pertanyaan dari orang lain "Kenapa anda shalat ?" Jawab : ya, karena orang tua saya juga shalat. Seakan - akan hanya meneruskan sesuatu yang diwariskan tanpa adanya kemauan untuk mengetahui kebenaran dan hakikatnya, hambatannya yaitu mungkin dari kemalasan untuk berfikir, terkesan meremehkan. Menjadikan keyakinan begitu rapuh dan mudah terombang - ambing.

Dia bilang, "persamaannya kita sama - sama teis", percaya akan Tuhan. Saya pertanyakan bagaimana dengan ateis, itu sebuah perbedaan juga bukan. Mungkin sama seperti kita, terkadang di cecar oleh argumen intimidatif, adanya perlawanan balik, layaknya seorang bayi menangis, dicubit yaa tangisannya akan lebih histeris, bukan ? .Walaupun melawan arus, bukan zamannya lagi memakai cara ekstrim yaitu dengan kekerasan, dan terlihat konyol apabila umat manusia saling bunuh karena perbedaan "baju", sementara mereka lupa inti dari "memakai baju" adalah menjaga martabat umat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, wasilah, sarana, alat untuk menuju tujuan pokok : penyerahan diri Kepada Yang Maha Benar. Pemikiran saya pribadi, musuh semua agama adalah "Ketidakadilan", begitu juga dengan pemikiran super logika kaum ateis adanya ketidakadilan berarti akan timbul kekacauan. Sedangkan, nilai yang diutamakan Islam adalah "keadilan".


Jadi garis tengahnya dari diskusi meja teras ini, sejalan dengan pendapat Ulil Abshar - Abdalla, seorang cendekiawan muslim, menjelaskan bahwa semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Dalam pandangan universal (melihat dari sisi umum) semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda - beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama : yaitu keluarga pencinta dalam pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.

Mengenai teis dan ateis, bercermin dari sejarah, dari kaum ateis angkatan pertama seperti Karl Marx dengan 'Das Kapitalis' nya, keliatannya perdebatan atau dialektika antara teis dengan ateis akan terus berlanjut dan terjadi sampai generasi pembela teis maupun ateis kini seperti sang pembela teis Karen Armstrong (penulis buku History of God) dan pembela ateis Richard Dawkins (penulis buku The God Delution).


Obrolan buat rambut jadi gimbal ini ditutup dengan tegukan demi tegukan secangkir kopi yang mulai dingin, dengan usul ganti topik lain aja deh, tanpa mengganggu status kita sebagai teman seperjuangan.

Tetap bangga dan bersyukur dilahirkan sebagai seorang muslim. Tentunya masih perlu banyak belajar dan belajar...

"Lakum Diinukum wa Liya Diin"

"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku" (QS. Al - Kafirun : 6)

  1. semakin hari, pilihan kata-katanya makin mantap lur! izin untuk kemudian saya copy diksi nya ya? :)

  1. . Says:

    Alhamdulilah lur, banyak belajar dari kumpulan artikel ente juga, muhun lur, silakan saja :)

Leave a Reply

"Man Jadda Wa Jadda"
-Arabian Quotes



"Knowledge Is Power"

-Francis Bacon


"Korupsi dipicu gaya hidup hedonis dan boros"


(Benar kan?).
-Eko Laksono

Arsip Blog