Jurus Berkeluh Kesah

Minggu, 24 November 2013

Source : Al-Fatih Studios

 Sudah hampir setengah tahun lamanya, blog ini mungkin tidak diisi kembali tulisan – tulisan dari pemiliknya. Sekedar untuk sudi mampir berkunjung membaca artikel terdahulu saja terkesan tidak punya waktu. Padahal bisa saja si pemilik blog ini hanya menghabiskan waktu hidupnya dengan hal – hal tidak berguna.

 Seandainya blog ini adalah sesosok makhluk seperti ayalnya seorang adik kepada kakaknya, seperti seorang wanita kepada kekasihnya dan dapat berbicara  dia pasti sangat merindukan dan berharap :

 “Ayo Bung, Tulislah, ketiklah tentang suatu hal, biar aku kembali menjadi berguna, setidaknya untuk menumpahkan segala keluh kesahmu tak apalah”

 Yupz, izinkan saya untuk menumpahkan segala air keruh, keluh kesah yang ada. Dimuntahkan kedalam bentuk tulisan dan berharap akan sedikit melegakan.

 Penyakit ‘rendah diri’ stadium pertengahan kembali kambuh. Saya kembali merasa bahwa saya adalah makhluk yang minim potensi dan selalu setia menjadi penonton di kala orang lain sudah terbang mencapai langit ke tujuh sedangkan saya hanya termenung melihat ke atas sana.

 Bila ada dua golongan manusia, yang satu mempunyai anugerah dari Tuhan sejak lahir, dengan hanya membaca buku satu kali, dengan hanya berlatih satu kali maka dia dengan mudahnya memahami dan dengan lihainya menguasai keterampilan. Tidak lupa yang satunya, sedikit berbeda. Dia harus membaca buku berulang – ulang hingga sepuluh kali pengulangan baru bisa mengerti dan menyerap segala ilmu dalam buku tersebut. Harus berlatih giat sepuluh kali lipat untuk menguasai suatu keterampilan.

 Nah, inilah saya. Termasuk kedalam golongan nomor dua. Sehingga saya berasumsi bahwa kerja keras dan usaha sepayah-payahnya menjadi modal utama untuk berkembang, dan satu-satunya jalan untuk menghindari diri dari sebutan pencundang !

Kerja keras tentu bukanlah ibarat sebuah batu jimat, yang apabila di genggam maka kesaktiannya akan selalu muncul. Kerja keras itu sangatlah rentan. Kondisi, motivasi, perasaan dan lingkungan saling berkaitan mempengaruhi seberapa besar kekuatan kerja keras tersebut.

Maka ketika kerja keras itu bias dan mulai menghilang,  saya punya apa ?

Sebagai seseorang yang diemban amanah dan tanggung jawab mengakrabkan diri dengan yang namanya “ilmu” sebagai tugas, pokok, dan fungsi saya sebagai Praja, sebutan lain dari profesi mirip mahasiswa yang bukan mahasiswa adalah mengembangkan diri untuk menjadi seorang pamong praja yang ideal nantinya (sebut saja : Pegawai Negeri Sipil) yang seharusnya sudah membaca lebih dari lima puluh  buku atau literatur bahkan lebih, tentang seluk-beluk pemerintahan sebagai bidang spesialis yang ‘wajib’ di kuasai.

Tapi pada kenyataannya bagi saya, menyelesaikan satu buku sama beratnya dengan bernafas dalam air, apalagi bunyi cover bukunya seperti “Ilmu Pengantar Politik dan –bla-bla-bla”. Begitu membosankan.

Oleh karena itu, saya merasa belum siap untuk terjun ke lapangan kerja karena semua keahlian dan pengetahuan dirasa belum cukup berkembang untuk  menjadi tenaga kerja – pemimpin instansi – pejabat daerah yang nantinya hanya menjadi misi bunuh diri (mempermalukan diri sendiri).

Sehingga “Ilmu” menjadi beban yang harus saya telan mentah – mentah dengan jangka waktu yang terkesan diburu-buru, sama dengan Laporan Akhir, Skripsi, atau apalah namanya. Dimata saya, itu semua hanya menjadi beban akademik yang dikerjakan sebagai ‘karya terpaksa’ bukan sebagai bentuk hasil hidangan dari pemikiran brilian, sebuah karya ilmiah yang patut dibanggakan di masa depan kelak.
“Ilmu tidak dapat diraih dengan bermalas-malasan” begitulah kurang lebih bunyi salah satu Hadist Riwayat Bukhari Muslim. Terdengar merdu nan indah apabila dibuat menjadi status facebook ataupun pesan di twitter, tetapi terkadang, Ketika saya terjerembab kedalam titik jenuh, kalimat tersebut begitu sulit untuk diwujudkan.

Sungguh bosan. Amat Jenuh. Terlalu mononton. Jadilah saya makhluk keterlaluan ketika dikaitkan pada pertanyaan “Seberapa syukurkah anda ?”.

Kepenatan ini sebenarnya hanya faktor kecil dari berbagai alasan yang dibuat – buat untuk terbuai dalam kebiasaan santai, sangat enggan keluar dari ruang kenyamanan. Tetapi semua itu akan lebih diperkuat ketika saya harus menerima kenyataan, walaupun kerja keras sudah mengantarkan saya sampai batas jarak maksimal yang dapat ditempuh, tapi untuk mencapai tujuan pun masih jauh di ujung sana, untuk menyusul mereka yang melaju cepat di ujung sana pun tak mampu.

Lantas apa yang saya lakukan selama ini ? berputar – putar di titik yang sama. Jalan di tempat. Disaat yang lain sudah satu langkah mencapai garis finish, saya baru memulai satu langkah dari garis start. Memang hal itu begitu pelik, saya seakan tergilas oleh segala standar zaman yang belum bisa saya capai. Saya merasa berada di peradaban yang salah.

Saya merasa… sebagai ‘Homo Erectus’ yang hidup di zaman ‘Homo Sapiens’.

Nyatanya tidak hanya dengan berdoa, saya bisa berubah. Dan tidak serta merta dengan hanya berusaha saya menjadi lebih baik. Sebagai makhluk bertuhan, saya meyakini kedua hal tersebut harus dijalani dengan seimbang, lima puluh takaran doa dibarengi dengan lima puluh takaran berusaha. Bukankah, Allah tidak akan merubah nasib suatu umat, apabila umat tersebut tidak berusaha untuk merubahnya ?

Biarlah sesi curhat keluh kesah ini menjadi sarana pembuang sial, agar segala sial yang saya sugestikan sekarang berubah menjadi sugesti keberentungan di masa yang akan datang.

Hidup itu memang pilihan. Dan sekarang saya disuguhkan oleh logika kehidupan sebagai manusia yang dapat berpikir.

“Apakah anda tetap berdiam diri atau kembali mulai melangkah ?”
"Man Jadda Wa Jadda"
-Arabian Quotes



"Knowledge Is Power"

-Francis Bacon


"Korupsi dipicu gaya hidup hedonis dan boros"


(Benar kan?).
-Eko Laksono

Arsip Blog