Fatwa Golput : Isyarat Gagalnya Demokrasi

Minggu, 13 Juli 2014

Golongan Putih



Euforia 5 Tahunan kembali menjangkit masyarakat di Indonesia. Sederhananya ini dinamakan pemilu. Semua elemen masyarakat membicarakan “pesta” ini mulai dari anak – anak hingga orang tua, dari warung nasi hingga kantor – kantor. Pembicaraan itu tak lepas dari isu – isu yang berkembang selama persiapan “pesta”, sebutan lainnya dalam hal ini yaitu “kampanye”. Percakapan yang renyah seputar pesta tersebut, meliputi partai mana yang akan dipilih, politisi mana yang tergolong hitam dan yang mana dirasa bisa mensejahterakan rakyat, iklan partai mana yang paling keren, dan lainnya.

Dari berbagai opini dan pilihan yang beraneka ragam warna dan cara, masyarakat menginginkan satu hal, yaitu “Perubahan”. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik, masing – masing orang mempunyai pemikiran, yang entah itu mengedepankan moral ataupun memprioritaskan perekonomian, kembali ke menurut versinya masing – masing. 

Sebagai warga negara kita mempunyai hak pilih dalam pemilu, sesuai selera yang kita mau, kita suka, kita setujui, kita benci dalam memilih warna partai dan sosok figur pemimpin negara ini, yang menurut kita ideal. Baik merah, biru, logo ini, lambang itu, ataupun… netral. Golput ( Golongan Putih).

Seandainya anda, saya, kita, kalian memilih untuk golput, apakah itu sebuah kesalahan ? tentunya kita punya pendapat masing – masing kan. 

Mengingat kembali fatwa MUI hasil ijtima ulama di Padang Panjang awal tahun 2009, yaitu fatwa haramnya golput (golongan putih)  atau golongan yang tidak menggunakan hak pilihnya ketika proses pemilihan umum. Dikutip dari naskahnya, fatwa itu berbunyi sebagai berikut :

  1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat - syarat ideal bagi terwujudnya cita - cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
  2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
  3. Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (Siddiq), terpecaya (Amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
  4. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat - syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
 Selanjutnya fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni : (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil – wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.


Di masyarakat dan kalangan politik pun muncul pro dan kontra atas keputusan, ini.  Nah, to the point, sampai saat ini saya juga belum mendapatkan detail dalil yang dipakai oleh MUI untuk menelurkan fatwa ini, tetapi kita akan sedikit membahas, seperti apa indikasi yang ditunjukan oleh fatwa ini.

Pertama, kita harus memahami terlebih dahulu, bahwa pemilu itu sendiri ada dua jenis, yaitu pemilu legislatif dan pemilu pemimpin. Pemilu legislatif dalam Islam adalah akad wakalah, atau akad perwakilan, yang mempunyai 4 rukun yaitu adanya : yang mewakilkan, wakilnya, perkara yang diwakilkan, dan ucapan (redaksi) perwakilan. Jika semua rukunnya dipenuhi maka akad perwakilannya sah, apabila salah satunya tidak dipenuhi maka akadnya menjadi tidak sah (bathil).

Yang menjadi masalah, dalam memilih wakil rakyat yang akan duduk di kursi legislatif, akad perwakilan ini menjadi bathil, karena ada satu rukun yang bermasalah, yaitu rukun “perkara yang diwakilkan”. Ketika kita mewakilkan kepada wakil rakyat, maka wakil rakyat itu nantinya akan melakukan tugasnya atas perwakilan dari kita, apa saja tugas wakil rakyat : (1) fungsi legislasi (membuat hukum), (2) fungsi anggaran, dan (3) fungsi mengoreksi penguasa. Dalam pandangan Islam, hak membuat hukum hanyalah milik Allah semata, sehingga tidak diperbolehkan bagi manusia untuk melakukan fungsi itu.

“Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Yusuf : 40)

Singkatnya, ketika kita memilih wakil rakyat, sesungguhnya kita sedang memberikan perwakilan pada mereka untuk melakukan dosa yang sangat besar, yaitu membuat hukum bagi manusia, atau menjadi tandingan Allah sebagai satu – satunya yang layak untuk membuat hukum. Ini  perkara sangat bathil. 

“Dan siapa yang tidak berhukum dengan aturan yang telah diturunkan oleh Allah, maka itulah orang – orang yang kafir" (QS. Al-Maidah : 44)

Adapun pemilihan pemimpin, maka ini adalah perkara yang wajib di dalam Islam, dan Islam mengharuskan adanya pemimpin bagi jamaah kaum muslim. Dan sangatlah tegas, di dalam Islam, pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang taat pada Allah dan Rasul-Nya serta memimpin dengan al-Quran dan as-Sunnah.

“Wahai orang – orang yang beriman, taatilah Allah, dan Taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian, dan bila kalian berselisih tentang segala sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hal seperti itu lebih utama dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisaa : 59)

Dan pemimpin ini pun telah dibatasi oleh Rasullulah baik jumlahnya maupun sistemnya, pemimpin yang dimaksud wajib untuk mengadakan dan mengangkatnya disini adalah khalifah yang satu untuk seluruh kaum muslim, sebagaimana yang dimaksud dalam hadits Rasullullah Saw. 

“Dulu Bani Israil diurus urusannya (tasusu) oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabil meninggal, Nabi yang lain menggantikannya. Sessungguhnya tidak ada Nabi sesudahku dan aka nada para khalifah, yang berjumlah banyak”. Para Sahabat bertanya “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi Saw. Bersabda : “Penuhilah baiat yang pertama saja dan yang pertama saja (satu khalifah untuk seluruh kaum muslim), dan berikanlah kepada mereka hak mereka (ketaatan). Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus (HR. Bukhari)

Sehingga dapat kita fahami, dalam dalil – dalil diatas dan masih banyak lagi dalil lainnya, maka pemimpin yang dimaksud dalam Islam adalah pemimpin yang satu untuk seluruh muslim, menerapkan al-Quran dan as-Sunnah dalam suatu bingkai sistem kepemimpinan yang dinamakan khilafah. Inilah yang wajib untuk diadakannya dan diperjuangkan.

Fakta yang terjadi saat ini, pemimpin yang dipilih dalam sistem sekuler (sistem yang dipakai hampir di seluruh dunia, termasuk negeri kita ), adalah pemimpin yang akan menerapkan hukum sekuler, yaitu thaghut pengganti hukum Allah. Fungsi pemimpin dalam sistem tidak ubahnya seperti masinis yang menjalankan keretanya, rel dan tujuannya takkan pernah berubah walau pemimpinnya soleh. Atau mudahnya, ketika kita memilih pemimpin untuk menerapkan sistem thaghut ini, maka sesungguhnya kita telah berkontirbusi pada setiap penyelewengan syariah yang dilakukan oleh pemimpin.

Bila MUI lalu menyampaikan bahwa haram golput selama masih ada pemimpin yang amanah, pertanyaan kita, adakah pemimpin yang amanah yang mau memperjuangkan syari’at Islam ?! jangankan memperjuangkan, adakah yang terbuka dengan jelas mengatakan keinginannya untuk mengambil amanah dari Allah untuk memperjuangkan syari’at Islam ?! Padahal dengan jelas amanah yang dimaksud dalam al – Quran yaitu menjadi pengelola di bumi dengan apa yang Allah berikan yaitu al – Quran dan As – Sunnah.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung – gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikulah amanat itu oleh manusia” (QS. Al – Ahzab : 72)

Berdasarkan semua dalil diatas, jika pemimpin ini adalah pemimpin yang tidak menerapkan Islam (Al-Quran dan As-Sunnah), dan tidak menggunakan bingkai sistem khilafah untuk seluruh kaum muslim, maka bukan seperti ini pemimpin yang diwajibkan oleh Islam untuk mengangkatnya.

Kedua, fatwa golput ini setidaknya menunjukan beberapa indikasi, yaitu :

  • Tekanan yang besar terhadap pihak MUI untuk merealisasikan fatwa golput ini, sehingga fatwa dikeluarkan tanpa melihat dasar hukum dan kondisi tempat berlakunya fatwa. Ilustrasinya begini, ada seseorang yang berada di diskotik dimana pemimpinnya adalah DJ, kemudian ketika terjadi protes kepada DJ, ada orang lain yang menyerukan, "taat kepada pemimpin adalah wajib !", sama seperti kondisi saat ini, hukum dan dalil Islam diterapkan pada kondisi dan dasar sekuler.
  • Indikasi bahwa demokrasi telah gagal mengatur dan mengelola ummat, ummat semakin menyadari, bahwa pemilu lima tahunan ini dan pemilu apapun bentuknya adalah sebuat siasat untuk memperdaya dan seolah - olah bertindak atas nama ummat, pemilu hanya digunakan untuk mendapat legitimasi dari ummat, padahal ummatlah yang paling dirugikan dengan semua keputusan yang diatasnamakan 'rakyat'. Demokrasi sesungguhnya hanya sebuah slogan persamaan, slogan yang seolah menaruh ummat pada posisi utama, dan ummat sudah menyadari bahwa demokrasi tidak lebih adalah propaganda yang hanya ada ketika kampanye saja.
  • Golput juga menunjukan suatu pertanda keputus-asa-an elit politik yang tidak pernah melakukan proses edukasi kepada masyarakat, sehingga ini termasuk langkah panik mereka. Yaitu menggunakan kekuasaan dan persuasi agama, yang lucunya agama itu selalu mereka kesampingkan ketika beraktivitas di parlemen. Buruknya kinerja partai politik, parlemen dan pemerintah harusnya yang menjadi perhatian, bukan ummat Islam yang golput, karena golputnya ummat adalah karena korban buruknya kinerja partai, parlemen dan pemerintah.
 Maka sesungguhnya tidak ada tempat berharap bagi kaum muslim kecuali kepada sistem yang Allah turunkan yaitu sistem Islam yang berbasis pada Al-Quran dan as-Sunnah. Marilah tetap pada perjuangan semula, menegakkan kepemimpinan Islam yang menerapkan Islam, yang bangga kepada Islam dan mencintai ummat Islam sebagaimana ummat Islam mencintai mereka. Maka ini tidak akan didapat, kecuali dalam bingkai daulah khilafah rasyidah. 

Sumber : felixsiauw.com

"Man Jadda Wa Jadda"
-Arabian Quotes



"Knowledge Is Power"

-Francis Bacon


"Korupsi dipicu gaya hidup hedonis dan boros"


(Benar kan?).
-Eko Laksono

Arsip Blog